Dewi's

76 : 24

2/9. Shelter

3 comments
I could never find the right way to tell you - Peter Robinson, Madeon.
Pandangannya terpusat pada kursi kosong di sudut ruangan. Di seberangnya terdapat rak buku tinggi berwarna kuning, berjajar rapi berisi buku tebal dengan judul Kalkulus. Di samping kursi kosong itu terdapat jendela yang memberi tahu bahwa hujan telah reda. Sisa hujan tadi sore masih bergelayut di ranting dan daun pohon yang cukup terlihat dari dalam jendela. Sementara itu di hadapannya terdapat dua orang-laki-laki dan perempuan-yang asyik bercengkrama dan tertawa.

Pandangannya menyapu pada sisi yang lain, tapi pikirannya menuntun kembali pada tulisan tentang hujan dari buku Physcal Hydrology yang tertulis besar-besar pada sampulnya. Ia mengernyit, menutup mata perlahan sambil membuang napas pelan. Belum juga menemukan jawaban.

Kenapa ya? Batinnya. Karena tidak begini dan karena tidak begitu.

Akhirnya dia konsentrasi sendiri, mengingat dirinya lagi, orang-orang di sekitarnya dan kejadian di tiap harinya. Pertama dia masuk pada hidupnya dengan seorang Ibu, yang tiap pagi menyediakannya sarapan, mengingatkannya supaya tidak terlambat dan bahkan kadang merendam cuciannya. Dalam pikirannya Ibu tersenyum, meskipun uban sudah hampir menutupi hampir semua rambutnya. Lalu sosok selanjutnya Ayah yang tinggi dengan kulit kecoklatan akibat terpapar matahari setiap hari. Raja dalam seumur hidupnya. Tangan kasar Ayah perlahan terangkat, menyentuh ubun-ubunnya; hal yang paling disukainya. Ia menahan tangis. Lalu muncul Adek yang badannya besar tiba-tiba memeluk dan menawarkan makanan sambil membawa boneka angry bird berwarna kuning. Keempat ada Cuneng, dengan dobok dan rambut kuncir kuda. Memasang kuda-kuda, berteriak "haaaaaiiiittt" tapi setelahnya tersenyum.

Ia menarik napas, tersenyum dalam pikirannya.

Kemudian ia bertemu sahabatnya yang sudah hampir 9 tahun. Meskipun sempat terpisah tapi dipersatukan lagi saat kuliah. Tertawa, menangis, berjuang bersama, ia tersenyum getir, we had once like that. Lalu dalam bayangnya sosok ini menjauh, melambaikan tangan. Tapi dia terus berpikir I can count on you. Muncul orang yang tiba-tiba memanggilnya sahabat. Orang ini selalu berusaha membantu menemani ketika dirinya tiba-tiba dijauhi. Dan selalu bilang, "dont give a sh*t to that people!". Ada juga orang yang mengisi hari-harinya selama beberapa tahun terakhir ini. Wanginya selalu khas dan suaranya sulit dilupakan. Lalu sosok-sosok bergantian terus menerus. Dia mengingatnya pernah bertemu disana, pernah bertemu disini. Bersama karena ini, bersama karena itu. Berpisah... karena apa? Kenapa harus ada perpisahan?

Matanya terbuka, menatap jendela dengan tetes hujan tadi sore. Sekarang dia sadar, bahwa semua orang mempunyai waktu masing-masing untuk tetap tinggal dalam hidup kita. Hanya beberapa orang saja yang bisa terus tinggal. Dan tidak semua orang yang tinggal bisa terus menemani. Mungkin ia hanya tempat pemberhentian sementara seperti shelter. Tapi sayangnya, dirinya terlanjur menganggap orang-orang yang singgah adalah penghuni tetap. Nyatanya tidak, tapi semoga ada. Setidaknya satu.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

3 komentar: