Dewi's

76 : 24

1/9. Acak.

Leave a Comment
“Sometimes you need to sit lonely on the floor in a quiet room in order to hear your own voice and not let it drown in the noise of others.” ― Charlotte Eriksson 

“Permisi,” aku berkata pelan terhadap laki-laki yang ada di depanku. Siang itu aku mengunjungi perpustakaan pusat. Aku memutar otak, mencari tempat untuk menyepi dan meringankan diri. Sekre sudah penuh sesak dengan segelintir yang sedang mengejar deadline tugas, apalagi sekarang sekre sudah dipersempit secara paksa oleh K3L. Akhirnya, setelah shalat aku memutuskan untuk pergi ke perpus pusat sendirian. Aku selalu suka gedung ini. Salah satu bangunan yang saat memandangnya, senyumku selalu merekah. Bagaimana rak-rak buku itu tersusun rapih, loker yang selalu berdesak-desakan juga bagaimana ekspresi setiap orang yang ada disana. Tapi yang paling aku suka adalah kaca-kaca itu. Oh, jelas aku sangat menyukainya. Aku suka bagaimana kaca-kaca itu meneruskan sinar matahari ke dalam. Caranya menyajikan pemandangan dari luar, menyaksikan setiap orang yang berlalu-lalang. Aku sering kali mengamati orang-orang yang lewat di luar jendela. Menyaksikan langsung di balik kaca-kaca itu, lalu membayangkan apa yang mereka bicarakan. Mengamati tawa dan senyum akibat cerita di antara mereka, atau menduga-duga apa yang sedang dipikirkan oleh seorang diri yang lewat di depannya.

Akhir-akhir ini aku jadi sering pergi kesana lagi sendirian, entah untuk benar-benar belajar atau berlari dari mumetnya pikiran. Meja favoritku adalah meja dekat kaca-kaca. Harus dekat kaca. Yap, I really meant it. Tepat di dekat tumpukan kalkulus, Halliday atau buku-buku TPB lainnya. Maka dari itu, aku memaksa masuk meskipun di meja bagian luar telah diduduki oleh seorang laki-laki yang entah siapa. Ucapan permisi aku katakan dengan pelan, namun mampu membuatnya menggeser kursi sehingga aku bisa masuk dan duduk di kursi tepat sebelah kaca-kaca. Aku tahu dia mengamati dan dari ekspresinya, sepertinya dia berpikir, “ini cewe ngapain sih maksa banget, kenapa gak cari tempat lain aja?” hahaha, im sorry, mas. Tapi di saat pikiran sedang pusing aku benar-benar perlu meja, kursi dan kaca itu. Wajahnya familiar, sepertinya kami pernah beberapa kali bertemu, tapi tetap saja aku tidak tahu siapa dia. Bahkan aku bisa melupakan nama orang yang sudah berkenalan denganku, apalagi mas-mas di sampingku ini yang entah kapan bertemu.

Beberapa detik, dari sudut mataku dia masih mengamati. Namun karena tidak mau tambah pusing, aku memilih untuk membereskan desktopku. Aku letakan laptop dan diktat pelatihan WRF yang aku pinjam dari temanku. Memasang headset, memutar lagu lalu mulai membuka diktat itu perlahan. Heuh, umpatku dalam hati. Lalu cepat-cepat beristighfar. Tidak sampai satu lagu selesai, aku membiarkan diktat itu di atas meja. Kusandarkan punggunggku pada kursi, memandang kosong ke layar laptop. Pikiranku kemana-mana, tidak bisa kukendalikan. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya sedikit keras. Kenapa bernafas jadi berat, ya?

Dengan laptop yang masih terbuka, aku letakan diktat di atasnya. Menopang kepala dengan sebelah tangan kemudian pelan-pelan membolak-balik diktat bagian planetary boundary layer. Lagi, aku menghembuskan nafas perlahan. Masih dengan sebelah tangan yang menopang kepala dan memegang lembaran diktat dengan tangan yang satunya, aku menerawang ke luar jendela. Menatap kosong ke gedung Comlabs yang ada di depanku, lalu beralih pada gerumulan mahasiswa yang tertawa di depannya. Memandang pohon, aspal, atau mobil yang sesekali lewat.

Jahat, kataku dalam hati. Lagi-lagi ia terlintas di pikiranku. Setelah sehari sebelumnya aku menyerahkan semuanya pada Pengatur takdir. Aku kira aku sudah menyelesaikannya. Ternyata tidak semudah itu. Tidak semudah itu menerimanya, tidak semudah mengambil buku di rak lalu mengembalikannya lagi setelah dipinjam selesai. Tidak, sama sekali tidak seperti itu. Dan kasihannya adalah, aku harus mengalami “pengambilan-pengembalian buku” itu beberapa kali. Tapi yang paling menyeramkan dan paling buruk adalah, bahwa aku kehilangan diriku sendiri.

Seperti seorang penulis yang kehilangan “muse”nya untuk menulis, itulah aku sekarang. Aku menjadi orang lain, aku tidak tahu, inikah aku? Baikkah aku? Dan pertanyaan mematikan bagiku adalah, siapa aku? Atau apa mimpi dan cita-citamu? Hatiku redam saat ditanya seperti itu. Seperti orang gila aku menelpon sahabatku suatu malam. Menangis dan mengasihani diri sendiri. “aku kehilangan diriku sendiri, aul. Aku mau sembuh, aku gamau sakit terus kayak gini. Aku capek, aul. Aku capek..” mentalku sakit, dan itu cukup untuk semua kekacauan ini. Dia dengan sabar mendengar semua ceritaku, semua, se-mu-a-nya. Dia sudah beberapa kali bilang padaku, “kok aku gak terlalu percaya sama dia ya, dew? Jangan dulu semuanya kamu percayain.” Namun aku membantah semuanya dengan bilang bahwa dia baik. Bahkan suatu ketika aku sempat dibentak oleh sahabatku, “DIA BUKAN TUHAN, DEWI. Sekali kamu gak memenuhi apa yang dia mau, kamu kayak orang berdosa. Kamu gendutanlah, itemanlah, kurusanlah, manjalah, apalah itu. Kamu sudah cukup sempurna dengan kamu yang seperti ini. Berubah itu perlu, tapi bukan karena dia. Karena Allah. Appreciate yourself, dew.”

Dan di sinilah aku sekarang, terjebak. Berusaha membangun diriku dari awal lagi. Mungkin jika aku masih yang dulu aku akan memblock semua kontaknya, menghapus history chat dan foto-foto instagram yang related dengan dia. Tapi aku tidak melakukannya sekarang. Aku membiarkannya. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong tanpa minat, menutupnya dan membiarkannya begitu saja. Iya, mengabaikan seperti ini lebih mudah dibandingkan berharap dia juga berubah dan melihat apa yang sudah aku lakukan atau apa yang selama ini aku tanggung. Karena dari sikapnya, sampai kapanpun dia tidak akan mengerti. Tidak, aku memberikan beberapa kesempatan tanpa sepengetahuannya dan hasilnya tetap tidak. Dia tidak mengerti.

Aku masih menerawang melihat hilir-mudiknya orang-orang. Kampus yang sibuk, batinku. Lalu teringat kata-kata sahabatku lagi, “kamu berharga dari yang kamu bayangkan. Dan kamu lebih kuat dari yang kamu kira.” Sejak saat itu, Aul selalu menyemangati aku nyaris setiap hari. Menanyakan kondisiku, bagaimana hari-hariku, berusaha membantuku untuk tidak memikirkannya melulu. Seolah Allah ingin meyakinkan aku bahwa aku cukup bernilai dan berarti untuk orang lain, Allah menunjukan hal kecil namun bisa membuatku ternyum ringan. Suatu siang aku mulai memasak lagi, aku memasak nasi goreng yang biasa aku buat untuk bekalku dan adek. Saat membawanya ke kampus, temanku berkata, “yeee, Dewi masak lagi. Mau dong, haha.” Aku tersenyum, hal sepele memang, tapi membuat aku bahagia. Lain lagi dengan temanku yang lain. Anak ini keukeuh pengen dibuatkan kue bolu. Lalu aku bilang, “mamah bikin bolu tuh di rumah, besok aja ya bawanya.” Terus dia menatap sekilas, kemudian kembali menatap laptop paling mahal seangkatan, berujar sambil lalu, “gamau ah, maunya kamu yang bikin.” Lalu aku tersenyum. Iya, sesederhana itu.

“Memang niatnya dia baik, tapi caranya salah. Sama kayak positif dikali negatif ya hasilnya tetep negatif.” Katanya malam itu. Lalu aku berpikir kembali. Iya.. bukan dengan cara menyakiti seperti ini. Apalagi sampai membandingkan dengan perempuan lain. Duh, duh, tidak habis pikir. Maka dari itu aku berkenalan dengan diriku lagi. Pelan-pelan mengubah diriku menurut dan hanya untukNya. Tidak perlu orang lain tahu aku berubah atau tidak. Aku akan diam. Memperbaiki hubungan dengan penciptaku. Lalu merasa nyaman ketika aku bersujud. Seolah semua beban tumpah ruah, seolah kepalaku dielus oleh Yang Maha Tahu. Betapa indahnya ketika kita berbisik pada bumi, namun terdengar sampai ke langit. Masyaa Allah.. Segala puji bagiMu, ya Rab.. terimakasih untuk semua pelajaran hidup selama ini. Terimakasih untuk membuat aku berpikir, “oh iya, ada lho orang seperti itu.” Terimakasih karena membuat aku memikirkan ulang semuanya, mempertimbangkan semuanya. Tapi mungkin sulit untuk percaya lagi. Aku tidak berusaha membuatnya percaya lagi, karena aku sendiri ragu, apakah aku bisa kembali percaya padanya atau tidak. Namun kali ini aku merasa cukup. Iya, cukup untuk melihat semuanya dengan jelas.

Lamunanku buyar ketika mendengar getar hapeku. Masih memandangi jendela, aku tersenyum. Kadang hidup selucu itu, ya. Aku memasukan sandi untuk lockscreen di hape. Ada sms masuk, wi, akang udah di labbir ya. Ketemu di lab atas aja.” Oh iya aku ada janji dengan orang lain. Menatap ke jendela sekali lagi, saat itu kaca tidak cukup silau sehingga memantulkan bayangku yang tipis disana. Dan aku melihatnya tersenyum. Iya, itu aku. Lalu aku bergegas membereskan desktop, merapikan headset dan beranjak pergi dari tempat kesukaanku.







Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar