“Sometimes you need to sit lonely on the floor in a quiet room in order to hear your own voice and not let it drown in the noise of others.” ― Charlotte Eriksson
“Permisi,” aku
berkata pelan terhadap laki-laki yang ada di depanku. Siang itu aku mengunjungi
perpustakaan pusat. Aku memutar otak, mencari tempat untuk menyepi dan
meringankan diri. Sekre sudah penuh sesak dengan segelintir yang sedang
mengejar deadline tugas, apalagi sekarang sekre sudah dipersempit secara paksa
oleh K3L. Akhirnya, setelah shalat aku memutuskan untuk pergi ke perpus pusat
sendirian. Aku selalu suka gedung ini. Salah satu bangunan yang saat
memandangnya, senyumku selalu merekah. Bagaimana rak-rak buku itu tersusun
rapih, loker yang selalu berdesak-desakan juga bagaimana ekspresi setiap orang
yang ada disana. Tapi yang paling aku suka adalah kaca-kaca itu. Oh, jelas aku
sangat menyukainya. Aku suka bagaimana kaca-kaca itu meneruskan sinar matahari
ke dalam. Caranya menyajikan pemandangan dari luar, menyaksikan setiap orang
yang berlalu-lalang. Aku sering kali mengamati orang-orang yang lewat di luar
jendela. Menyaksikan langsung di balik kaca-kaca itu, lalu membayangkan apa
yang mereka bicarakan. Mengamati tawa dan senyum akibat cerita di antara mereka,
atau menduga-duga apa yang sedang dipikirkan oleh seorang diri yang lewat di
depannya.
Akhir-akhir ini aku
jadi sering pergi kesana lagi sendirian, entah untuk benar-benar belajar atau
berlari dari mumetnya pikiran. Meja favoritku adalah meja dekat kaca-kaca. Harus dekat kaca. Yap, I really meant
it. Tepat di dekat tumpukan kalkulus, Halliday atau buku-buku TPB lainnya. Maka
dari itu, aku memaksa masuk meskipun di meja bagian luar telah diduduki oleh
seorang laki-laki yang entah siapa. Ucapan permisi aku katakan dengan pelan,
namun mampu membuatnya menggeser kursi sehingga aku bisa masuk dan duduk di
kursi tepat sebelah kaca-kaca. Aku tahu dia mengamati dan dari ekspresinya,
sepertinya dia berpikir, “ini cewe
ngapain sih maksa banget, kenapa gak cari tempat lain aja?” hahaha, im
sorry, mas. Tapi di saat pikiran sedang pusing aku benar-benar perlu meja,
kursi dan kaca itu. Wajahnya familiar, sepertinya kami pernah beberapa kali
bertemu, tapi tetap saja aku tidak tahu siapa dia. Bahkan aku bisa melupakan
nama orang yang sudah berkenalan denganku, apalagi mas-mas di sampingku ini
yang entah kapan bertemu.
Beberapa detik,
dari sudut mataku dia masih mengamati. Namun karena tidak mau tambah pusing,
aku memilih untuk membereskan desktopku. Aku letakan laptop dan diktat
pelatihan WRF yang aku pinjam dari temanku. Memasang headset, memutar lagu lalu
mulai membuka diktat itu perlahan. Heuh, umpatku
dalam hati. Lalu cepat-cepat beristighfar. Tidak sampai satu lagu selesai, aku
membiarkan diktat itu di atas meja. Kusandarkan punggunggku pada kursi, memandang
kosong ke layar laptop. Pikiranku kemana-mana, tidak bisa kukendalikan. Aku menarik
nafas dalam dan menghembuskannya sedikit keras. Kenapa bernafas jadi berat, ya?
Dengan laptop
yang masih terbuka, aku letakan diktat di atasnya. Menopang kepala dengan
sebelah tangan kemudian pelan-pelan membolak-balik diktat bagian planetary boundary layer. Lagi, aku
menghembuskan nafas perlahan. Masih dengan sebelah tangan yang menopang kepala
dan memegang lembaran diktat dengan tangan yang satunya, aku menerawang ke luar
jendela. Menatap kosong ke gedung Comlabs yang ada di depanku, lalu beralih
pada gerumulan mahasiswa yang tertawa di depannya. Memandang pohon, aspal, atau
mobil yang sesekali lewat.
Jahat, kataku dalam hati. Lagi-lagi
ia terlintas di pikiranku. Setelah sehari sebelumnya aku menyerahkan semuanya
pada Pengatur takdir. Aku kira aku sudah menyelesaikannya. Ternyata tidak
semudah itu. Tidak semudah itu menerimanya, tidak semudah mengambil buku di rak
lalu mengembalikannya lagi setelah dipinjam selesai. Tidak, sama sekali tidak
seperti itu. Dan kasihannya adalah, aku harus mengalami “pengambilan-pengembalian
buku” itu beberapa kali. Tapi yang paling menyeramkan dan paling buruk adalah,
bahwa aku kehilangan diriku sendiri.
Seperti seorang
penulis yang kehilangan “muse”nya
untuk menulis, itulah aku sekarang. Aku menjadi orang lain, aku tidak tahu,
inikah aku? Baikkah aku? Dan pertanyaan mematikan bagiku adalah, siapa aku? Atau
apa mimpi dan cita-citamu? Hatiku redam saat ditanya seperti itu. Seperti orang
gila aku menelpon sahabatku suatu malam. Menangis dan mengasihani diri sendiri.
“aku kehilangan diriku sendiri, aul. Aku mau sembuh, aku gamau sakit terus
kayak gini. Aku capek, aul. Aku capek..” mentalku sakit, dan itu cukup untuk
semua kekacauan ini. Dia dengan sabar mendengar semua ceritaku, semua,
se-mu-a-nya. Dia sudah beberapa kali bilang padaku, “kok aku gak terlalu
percaya sama dia ya, dew? Jangan dulu semuanya kamu percayain.” Namun aku
membantah semuanya dengan bilang bahwa dia baik. Bahkan suatu ketika aku sempat
dibentak oleh sahabatku, “DIA BUKAN TUHAN, DEWI. Sekali kamu gak memenuhi apa
yang dia mau, kamu kayak orang berdosa. Kamu gendutanlah, itemanlah, kurusanlah,
manjalah, apalah itu. Kamu sudah cukup sempurna dengan kamu yang seperti ini. Berubah
itu perlu, tapi bukan karena dia. Karena Allah. Appreciate yourself, dew.”
Dan di sinilah aku
sekarang, terjebak. Berusaha membangun diriku dari awal lagi. Mungkin jika aku
masih yang dulu aku akan memblock semua kontaknya, menghapus history chat dan
foto-foto instagram yang related dengan dia. Tapi aku tidak melakukannya
sekarang. Aku membiarkannya. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong tanpa
minat, menutupnya dan membiarkannya begitu saja. Iya, mengabaikan seperti ini
lebih mudah dibandingkan berharap dia juga berubah dan melihat apa yang sudah
aku lakukan atau apa yang selama ini aku tanggung. Karena dari sikapnya, sampai
kapanpun dia tidak akan mengerti. Tidak, aku memberikan beberapa kesempatan
tanpa sepengetahuannya dan hasilnya tetap tidak. Dia tidak mengerti.
Aku masih
menerawang melihat hilir-mudiknya orang-orang. Kampus yang sibuk, batinku. Lalu teringat kata-kata sahabatku lagi,
“kamu berharga dari yang kamu bayangkan. Dan kamu lebih kuat dari yang kamu
kira.” Sejak saat itu, Aul selalu menyemangati aku nyaris setiap hari. Menanyakan
kondisiku, bagaimana hari-hariku, berusaha membantuku untuk tidak memikirkannya
melulu. Seolah Allah ingin meyakinkan aku bahwa aku cukup bernilai dan berarti
untuk orang lain, Allah menunjukan hal kecil namun bisa membuatku ternyum
ringan. Suatu siang aku mulai memasak lagi, aku memasak nasi goreng yang biasa
aku buat untuk bekalku dan adek. Saat membawanya ke kampus, temanku berkata, “yeee,
Dewi masak lagi. Mau dong, haha.” Aku tersenyum, hal sepele memang, tapi
membuat aku bahagia. Lain lagi dengan temanku yang lain. Anak ini keukeuh pengen dibuatkan kue bolu. Lalu aku
bilang, “mamah bikin bolu tuh di rumah, besok aja ya bawanya.” Terus dia
menatap sekilas, kemudian kembali menatap laptop paling mahal seangkatan,
berujar sambil lalu, “gamau ah, maunya kamu yang bikin.” Lalu aku tersenyum. Iya,
sesederhana itu.
“Memang niatnya
dia baik, tapi caranya salah. Sama kayak positif dikali negatif ya hasilnya
tetep negatif.” Katanya malam itu. Lalu aku berpikir kembali. Iya.. bukan
dengan cara menyakiti seperti ini. Apalagi sampai membandingkan dengan perempuan
lain. Duh, duh, tidak habis pikir. Maka dari itu aku berkenalan dengan diriku
lagi. Pelan-pelan mengubah diriku menurut dan hanya untukNya. Tidak perlu orang
lain tahu aku berubah atau tidak. Aku akan diam. Memperbaiki hubungan dengan
penciptaku. Lalu merasa nyaman ketika aku bersujud. Seolah semua beban tumpah
ruah, seolah kepalaku dielus oleh Yang Maha Tahu. Betapa indahnya ketika kita
berbisik pada bumi, namun terdengar sampai ke langit. Masyaa Allah.. Segala
puji bagiMu, ya Rab.. terimakasih untuk semua pelajaran hidup selama ini. Terimakasih
untuk membuat aku berpikir, “oh iya, ada lho orang seperti itu.” Terimakasih karena
membuat aku memikirkan ulang semuanya, mempertimbangkan semuanya. Tapi mungkin
sulit untuk percaya lagi. Aku tidak berusaha membuatnya percaya lagi, karena
aku sendiri ragu, apakah aku bisa kembali percaya padanya atau tidak. Namun kali
ini aku merasa cukup. Iya, cukup untuk melihat semuanya dengan jelas.
Lamunanku buyar
ketika mendengar getar hapeku. Masih memandangi jendela, aku tersenyum. Kadang hidup
selucu itu, ya. Aku memasukan sandi untuk lockscreen di hape. Ada sms masuk, wi, akang udah di labbir ya. Ketemu di lab
atas aja.” Oh iya aku ada janji dengan orang lain. Menatap ke jendela
sekali lagi, saat itu kaca tidak cukup silau sehingga memantulkan bayangku yang
tipis disana. Dan aku melihatnya tersenyum. Iya, itu aku. Lalu aku bergegas
membereskan desktop, merapikan headset dan beranjak pergi dari tempat
kesukaanku.
0 komentar:
Posting Komentar